Thursday, April 3, 2008

ANDAI SPASI (TAK) ADA

Ini kisah tentang seorang perindu. Mungkin aku, kau, kamu, kita atau mereka yang merindu. Akulah sang perindu. Rindu kepada seseorang atau sesuatu. Atau rindu kepada masa_lalu dan depan_ yang selalu menghampiri. Ini juga kisah tentang kerinduan yang tak terhingga. Akulah sang perindu itu. Aku adalah seorang tua yang merindukan anak yang tak kunjung tiba. Ia meninggalkanku saat kata ‘bebas’ sudah mereka membius otak anakku. Aku juga sang perindu, akulah seorang anak yang merindu. Rindu pada orang tua yang pergi jauh mencari penyembung hidup. Aku rindu ayah yang katanya kekota, hendak membeli mainan buatku. Aku tak tahu sampai kapan ayah di sana. Aku juga rindu ibu, yang mencari sesuap nasi. Aku rindu ibu, belaiannya, mesranya, sayangnya, cintanya. Kembalilah ibu, aku merindumu. Aku rindu setiap moment yang telah kita lewati bersama. Atau rakyat yang rindu pemimpin bijak lagi berpihak pada rakyat.
Bahwa seseorang yang telah lama meninggalkan orang yang terkasih, butuhkah kita spasi?. Mengapa harus ada?.

Bagiku, kerinduan tak butuh spasi yang banyak untuk di buat “meledak”. Karena rindu orang tua sangat berbeda dengan kerinduan anak, betulkah?. Mungkin kita pernah merasa bahwa rindu sangat menyiksa. Sampai sakit yang “ngga-ngga” mulai muncul, ada yang stress, mogok makan, mogok bicara, atau tiba-tiba cerewet, ada yang penghayal, bahkan ada yang menanti rumah sakit jiwa.Bahkan Tuhan dalam kitab sucinya berkata “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?” masihkah ada kenikmatan lain sehingga kita tanggung merinduNya?. Atau sekedar menanyakan “apa kabar” kepada orang terkasih. Atau benar, butuh waktu untuk mengobati rindu-rindu mereka_ayah, ibu, adek, kaka, buyut_ tapi sampai kapan? Atau sampai masa expirenya berlaku? Atau sampai bendera putih terpajang? Entahlah. Kata salim dan samin dalam kisan si Entong selalu bilang “sungguh ta’liwa’ (sungguh terlalu:). Saya teringat seorang teman ketika sama-sama melakukan perjalanan kembali pulang bilang “klimaks rindu adalah ketika pertemuan belum terjadi” atau sekedar member spasi yang lama untuk sebuah kerinduan yang menyengat.

Atau jangan-jangan spasi yang kita buat sekedar balas dendam atau benarlah sebuah “pemberontakan” kecil terhadap rasa yang kita miliki. Tanya dirimu, aku juga. Bahwa kita memang butuh spasi merindu kata Dee Lestari dalam Filosofi Kopinya. Terima kasih spasi, kau dibutuhkan untuk merindu.
Aku memang perindu. Kamu???

Ketika kita (mungkin) butuh spasi untuk merindu :D
DesaPerinduBulusuka, ‘080324