Thursday, December 27, 2007

Mengapa harus kami...

Tiga tahun aku berusaha melembutkan hatinya. Aku berusaha membuatnya yakin bahwa aku tak akan mengecewakannya. Ia bukan perempuan yang seperti biasanya. Entahlah, aku juga tak tahu alasan apa yang membuatku begitu ingin memilikinya. Tas ransel tak ketinggalan. Celana jeans hitam lengkap dengan kaos oblong adalah cirri khasnya. Suatu hari aku bertanya “kenapa gayamu kayak laki-laki, sayang”. Dengan cueknya ia menjawab “yah, sudah kalo merasa keruk makan jeruk kita putus saja”. Setiap aku bertanya tentang gayanya yang cuek, ia selalu mengeluarkan kata-kata pamungkasnya “kita putus”. Ketakutanku bertambah ketika aku tahu kalau dia tak seagama denganku. Masalahnya bukan pada kami berdua tapi orangtua kami yang mempermasalahkannya. Aku bingung mengapa keyakinan selalu bermasalah saat aku ingin memperjuangkan rasa. Ari pun tak keberatan ketika ia tahu kalo aku beda dalam hal peribadatan dengannya.
***
“sayang kamu dah makan?”
“iya, mang kenapa?”
“sayang aku mau setiap kali kamu esemes kamu juga panggil aku sayang”
“apa....sayang...ngga’ deh”
“mangnya kenapa sayang?”
“karena aku tak suka, mestikah setiap rasa ditunjukkan?. Aku sudah cukup dengan keadaanku. Kalau kamu mau trima, yah sudah hubungan ini kita lanjutkan, atau....”
“oke...oke...sayang tak usah kau lanjutkan”
Sudah lima tahun aku tinggal dikampung. Setelah lulus diploma aku kembali kekampung walaupun tempat kerjaku di kota tapi, aku berusaha mendekatkan diri sama ibu. Stroke yang ia derita semakin bertambah ketika aku menyatakan akan menikah dengan Ari.
‘nak, aku tak melarang kamu menikah dengan siapapun, namun jangan menikah dengan yang tak seagama” ucapnya dengan selang infuse menggantung di lengannya.
“tapi, bu...aku sangat menyayanginya?”
“nikah beda agama itu haram nak!”
“bu...aku tak bisa melupakannya. Tiga tahun aku berjuang untuk mendapatkannya. Hati sudah tertambat padanya”
“kalau kamu masih ngotot ingin menikah dengannya, aku ikhlas melepasmu”
Aku hanya tertunduk, lagi-lagi embun malam menetes dipipiku. Ada yang bilang aku terlalu cengeng untuk seorang lelaki. Itu juga alasanku mengapa aku sangan suka dengan Ari. Perempuan tomboy yang sudah kukenal lima tahun silam. Ia bukan hanya menggatikan sosok ayah yang pergi, juga menjadi pendamping hidup. Kau boleh saja menertawai sikapku. Namun, cintaku pada Ari akan tetap kuperjuangkan.
***
Kuberanikan diri untuk mengutarakan niat baik Wandy pada ayah. Kupikir ini waktu yang tepat. Ayah seperti biasa dengan secangkir kopi dan surat kabar yang sudah ia baca tadi pagi. Ibu masih sibuk didapur. Teras menjadi pilihan tepat kami bercengkrama.
“besok Wandi akan melamarku ayah...”
‘Wandi pacar kamu itu?”
“iya yah...”
“tidak boleh...” lalu ayah berpaling tanpa ingin melihat mukaku
“tapi yah....kami saling mencintai”
“cinta...cinta...makan itu cinta. Apa kamu lupa. Kakek dan nenekmu menikah atas nama cinta, tapi perbedaan keyakinan telah memisahkan mereka. Ayah harus terlunta-lunta. Tak tentu arah. Karena tak ada sanak yang mau menerima. Dan sekarang kamu akan mengulang kisah itu...” masih tak melihatku dibalik surat kabar.
“ayah...tapi kami...” aku tak mampu melanjutkan kalimatku.
“jika cinta yang kau banggakan, ayah tak tahu, dulu akau dan ibumu tak saling mencinta. Tapi, lama-lama kebersamaan yang membuat kami mampu bertahan sampai kau dan adikmu lahir. Lebih baik kau putuskan saja dia. Kalu kamu masih ngotot ingin bersamanya. Pergilah dan jangan pernah kembali” ayah telah berlalu. Secangkir kopi sore ini tak ia sempat ia seruput.
aku melangkah menuju kamarku. Ibu, pasti tahu apa yang aku rasa saat ini. Ia yang paling mengerti keadaanku.
‘nak...kamu harus brfikir ulang,apa yang ayahmu katakana itu benar” ibu bersuara dari dapur.
Kini kamar menjadi pilihan tepat bagiku.
“say...ayah tak menginkan kita bersatu”
“sabar yah sayang...suatu saat nanti kita akan bersama”
“trus ibumu bagaimana?, apa ia sudah mau menerimaku?”
“aku sudah meminta restu pada ibu, tapi...hasilnya sama denganmu sayang”
“sayang...kita memang tak pantas bersatu, terlalu banyak halangan yang kita harus lewati. Aku tak ingin meninggalkan orangtuaku. Pun, pasti kamu juga begitu bukan?”
“aku paham sayang, tapi...mestikah rasa yang harus kita hujat?”
“aku bangga telah mengenalmu. Mudah-mudahan esok kita bisa dipertemukan sayang”
“iya sayang...Tuhan kita sudah berjanji jika kita tak bertemu didunia, kita akan bertemu disurga”
“aku akan menanti”
***
Kami sepakat untuk Tak menikah sampai maut memisahkan kami. Aku tak mampu mencari yang lain. Bagiku Ari adalah sosok perempuan yang tak tergantikan. (aku pinjam kisahmu sobat:)

No comments: