Saturday, April 21, 2007

Ayah, jujurlah!

Untuk kesekian kalinya pak Dollar memimpin. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Uang yang kupinjam pekan lalu sama pak Rupiah tak lagi mampu kugunakan untuk bertahan hidup untuk dua pekan kedepan.tunggakan listrik belum ku bayar. Tagihan telepon sudah dua bulan menunggak dan satu bulan lagi telepon itu benar-benar dicabu, itu instruksi pemerintah yang kudengar di tape kuno yang setia menemani setiap malamku sambil menikmati kopi suguhan istriku. Kini aku harus menguras tenaga setiap pagi berpakaian rapih, tepatnya berlagak orang kantoran. Berlengan panjang lengkap dengan dasi dan sepatu fantopel mengkilap.

Semalam istriku menagih gaji bulanan. Aku tak tahu harus menjawab apa. Ia belum tahu, bahwa sudah dua bulan aku dipecat. Gajiku tak lagi mencukupi untuk biaya pengganjal perut anakku sisulung yang kini duduk di kelas dua esempe dan si bungsu yang baru duduk di esde kelas satu. Aku tak tahu bersikap jujur atau tetap melakukan aktivitasku seperti sedia kala. Berpakaian rapih setiap hari hanya membuatku tersiksa.

Aksi yang kugelar bersama sepuluh orang karyawan lainnya harus dipecat tanpa uang pesangon. Aku hanya pasrah dengan hal ini. Pak rupiah yang hanya tangan kanan pak Dollar harus nurus begitu saja. Tanpa harus mengetahui yang sebenarnya. Ia langsung memecat kami hanya karena gaji kami tak ditambah walaupun jam kerja kami lebih dari yang ditargetkan.

Kebingunganku hanya akan berakhir dengan dosa besar yang kini mendaging di dadaku. Istri yang setia menungguku. Menyuguhkan makan setiap hari. Menjaga anak-anakku. Harus kubohongi. Ia yang sudah limabelas tahun mendampingiku harus menerima semua ini. Tak lagi ada harap untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Aku harus jujur bahwa aku tak lagi berada diposisi yang didambanya. Sekarang aku hanya seorang pembual selama sebulan berfose layaknya seorang karyawan.

Satu malam istriku bertanya mengapa aku tak lagi pernah keluar kota. Membawa barang-barang import. Dan membawa boneka lucu buat anak-anak kami. Aku menyela bahwa posisiku sekarang sudah agak membaik. Setidaknya aku bisa bersama keluarga untuk lebih lama. Istriku tak melanjutkan karena ia selalu percaya padaku.
Aku harus mengungkapkan yang sebenarnya. ia harus tahu bahwa suaminya tak lagi seperti yang diinginkannya. Bahwa suaminya tak lagi akanmemnggapai impiannya. Bahwa anak-anak tak lagi kubahagiakan dengan boneka dan mainan dari penjuru kota yang terkenal. Aku harus mengatakan bahwa suaminya tak becus mengurusi keluarga. Bahwa suaminya bukanlah seorang yang bertanggungjawab.

Malam ini kuberanikan diri untuk bicara dengannya. Aku tahu ini sangat pahit. Namun hal ini mesti kulakukan. Aku tak ingin membuyarkan mimpi istriku. Walaupun pak Yen sudah memberiku sumbangan dana, yang kutahu itu butuh balasan. Ia adalan kepala cabang dislahsatu kota yang pernah kudatangi. Kontrak bisnisnya beberapa kali ku sepakati untuk perkembangan perusahaannya. Aku akui ia sangat baik, namun akupun harus menghadirkan program kerja pak Dollar yang membuat perusahaannya berhasil. Ia tahu aku yang menguasai sistem data di perusahaan tersebut. tapi, kusadari semuanya tak akan bertahan lam. Seberapa lamakah aku berbohong demi anak dan istriku tercinta.

Wajahnya nampak cerah. Seperti biasa ia selalu menunjukkan wajah cerianya padaku. Tak sekalipun ia menentangku. Ia adalah perempuan dambaab yang kutak salah pilih walaupun awalnya ayah memaksa untuk menikahinya. Aku sadar ini bukan hal buruk. Tapi, akhirnya kutahu ia sangat setia. Perlahan aku mulai bercerita. Kumulai dengan mengapa aku dipecat. Mengapa ku menentang keputusan Pak Dollar.mengapa aku melakukan aksi. Ada semburan hangat dipipinya. Aku kini membisu. Perlahan ia berucap “ aku tahu apa yang ayah lakukan itu demi sebuah keadilan.” “Tapi ada hal penting yang harus ayah mengerti…”ucapnya terpotong. “Aku tahu kau akan marah jika hal ini aku ucapkan” selaku. “bukan…bukan itu…sejak sebulan yang lalu aku sudah tahu hal ini, TV menayangkan aksi itu,dan ayah sangat jelas di layar itu. Aku tak marah dengan hal itu. Namun sangat saya sayangkan ketika ayah tak lagi Jujur padaku dan bertopeng seolah-olah aku akan senang dengan semua harta yang ayah berikan padaku. Sementara ayah menyiksa batin sendiri. Aku tahu ayah pasti akan jujur namun ini belum terlambat untuk sebuah kebenaran”.

Sahabat, 28 July 2006

2 comments:

GreenMan said...

sungguh aku merasa terharu dengan tulisan ini.
aku terharu pada sosok ayah, lebih-lebih pada sosok istri yang....
ah...siapa yang tidak merindukan pendamping hidup semacam itu.

Yunita Ramadhana said...

Salam,

kisah ini sungguh mengharukan, benar2 mengharukan. Namun, ada satu pesan yang tersirat dari kisah ini, yang juga menjadi motto hidup saya:
"Jujurlah, walaupun kebenaran itu amat pahit rasanya dibanding kebohongan yang hanya manis di permukaan saja."

Wassalam,