Saturday, April 21, 2007

Perempuanku

Tanggal 21, kini usiaku semakin bertambah. Berpuluh tahun aku mengitari cakrawala. Mencari matahari yang setia memberiku hangat. mungkin tak lagi asing di telinga kita. Memori ingatan akan terpatri kepada sosok perempuan yang berasal dari keluarga berada. Harus patuh pada adapt dan perintah ayah. Ia tak mampu berbuat apaapa ketika sang ayah memerintahkan aku untuk tinggal di rumah.

Karena adat tak boleh dilanggar ketika usia sudah menanja remaja. Keresahan telah mengusik batinku ketika bibi Inah dengan setianya harus menunduk, duduk di lantai dan makan di tempat berbeda dengannya. Padahal tanpa disadari keberadaannya sampai bisa aku berfikir tentang kebenaran. Aku habiskan bersama seorang perempuan yang merawat dan melindunginya melebihi pengawal. Kegiatan keluar rumah harus kulewati hanya dengan bermain bersama Bi Inah . Karena kakaku harus menikah. Karena jika membantah orangtua apalagi ayah sama dengan mencoreng muka keluarga sendiri atau sekedar buah bibir masyarakat

Aku tak pernah mamilih untuk dilahirkan dalam keluarga yang memegang teguh adat. Masyarakat sekitarku harus tunduk terhadap perintah ayah. Tanpa sadar ternyata apa yang ayah lakukan katanya sematamata untuk diriku. Karena aku perempuan. Aku harus tunduk pada perintahnya. Pada status sosialku. Pada adapt yang mengungkung. Dia melarangku melanjutkan sekolah karena menganggap bahwa perempuan tak perlu sekolah lebih tinggi. Ia hanya harus melanjutkan pendidikan untuk masa depannya saja. Dengan kata lain tempatku hanya di ruang domestic semata. Aku tak sanggup mengahadapi ini. Diamdiam aku mencuri waktu. Selain belajar merajut, memasak, dan pekerjaan wajib perempuan. Tapi, hal itu kulakukan ketika ayah tak berada di rumah. Aku menulis surat kepada sahabatku yang kini sekolah di luar negeri. Untung, aku mencatat alamat mereka sehari sebelum kepergiannya. Seingatku beberapa hari yang lalu. Mr.Orwell masih mengajariku bagaimana bertatakrama, bagaimana bertindak, bagaimana berbicara, bagaimana berbahasa asing. Tapi aku tak ingin semuanya berakhir. Sakit hatiku untuk bisa sekolah lagi ku ungkapkan di kertas putih yang kugoresi pena emas dengan ujung bulu ayam terjuntai. Kemudian kukirim. Berharap kawankawanku bisa membalas dan memberiku semangat untuk bisa bertahan. Aku harus memberitahu kawankawanku bahwa aku tak sekolah karena adat yang membuatku seperti ini. Beberapa kali aku membujuk ayah unutk bisa sekolah. Tapi ayah hanya menjawab, malulah seorang gadis berumur keluar rumah tanpa seseorang yang dipercaya. Perempuan tak perlu sekolah tinggitinggi karena pada akhirnya ia hanya akan melayani suami. Aku kaget. Marah. Diam. Embun hangat mengalir deras.

Yang ku ingat bukan hanya diriku tapi. Perempuanperempuan yang kini haus akan belajar seperti diriku. Aku yang berpunya saja dilating sekolah bagaimana dengan yang tak berada?. Tembok beton yang membatasi rumahku, membuat aku tak mampu bergaul dengan anakanak seumujranku. Jangankan dengan sesame jenis. Apatah lagi dengan lain jenis. Ayah akan memarahiku jika hal itu ku lakukan. Sampai waktunya tepat aku hanya bisa berbuat sedikit. Bi inah ku suruh memanggil beberapa perempuan sebayaku untuk ku ajar membaca, berhitung dan sedikit keterampilan. Senanglah aku ketika kutemui beberapa orang yang benarbenar ingin belajar bersamamku. Walaupun awalnya mereka segan dan menunduk ketika aku ajaki mereka bicara. Aku memberitahu mereka untuk tak berbuat demikian. Karena tunduk akan merawat penindasan. Sedang aku tak ingin melihat mereka di tindas kecilkecil karena tak mampu tersenyum lebar. Maka ku pegangi dagu mereka agar wajah cerianya terlihat jelas.
Sebagai permulaan mereka ku minta berbicara dengan memperkenalkan diri. Aku menyimak segala ucapannya yang penuh semangat. Bahwa mereka ingin belajar. Sebagai awal aku harus memberi pengenalan abjad kepada mereka. Setelah itu beberapa hari selanjutnya kuperkenalkan angka. Agar mereka tak bosan pelajaran selingan ku isi dengan memasak, merajut dan menenenun. Sesekali mereka membawa bahan mentahnya setelah itu kami olah bersama. Sebulan sudah kami melakukannya. Peningkatan terus berlanjut. Untuk menghindarai ayah. Aku sarankan kepada mereka untuk lewat belakang saja. Dan untuk memperluas penyebaran ilmu. Ku sarankan pada mereka untuk membuat sekolah kecil kecilan agar mereka yang belum tahu bisa sedikit terisi. Kini surat surat berdatangan dari kawanku dari luar. Aku senang ketika beberapa diantara mereka merespon kegiatanku dan berkeinginan membantu. Terutama dalam hal financial.

Tapi jalan selalu lurus dan mulus. Ayah marah padaku. Ia menghukumku untuk tak keluar kamar selama dua minggu. Dan makanan hanya akan diantar sama Bi Inah. Aku tak mampu berbuat. Malah Bi Inah bilang ia hamper di pecat atas perbauatanku. Tapi aku tak kehabisan akal. Surat semakin gencar ku kirim. Dan hasilnya pemerintah Nederland sebagai ayah Mike mengirim surat pada ayah. Ia dalam suratnya menyanjungku dan salut terhadap sekolah kecil yang ku lakukan. Hal ini kuketahui ketika tanpa sepengatahuan ayah ku dengan pembicaraannya bersama ibu di ruang tamu, suatu malam.
Entah apa yang terjadi. Ayah masuk ke kamarku dan merespon kegiatan yang ku lakukan. Aku mendekapnya erat. Syukur tak lupa ku panjatkan. Tapi bukan ayah jika tak ada syarat. Ia memberiku syarat bahwa untuk mengembangkan kegiatanku itu harus punya pendamping. Tapi aku benarbenar tak mengerti. Mengapa jodoh ditentukan olehnya pula. Bukankah jodoh sma halnya mati dan rejeki, datang jika waktunya tiba? Dan kali ini aku benarbenar harus menerimanya. Demi diriku dan perempuanku. Aku tak tega melihat semangatnya yang pudar demi aku.

Pangeran yang di utus ayah kini tiba. Suroso namanya. Anak seorang bupati di Kota Samatara. Dengan ramah ku sambut dia. Aku tak bisa berkata apapa ketika ia memintaku untuk menjadi istrinyha. Sebelunya ia sudah mendengar keinginanku untuk mendirikan sekolah bukan hanya untuk perempuan tapi kepada mereka yang ingin sekolah. Dengan bantuan ayah Mike aku bisa mendirikan sekolah. Aku bertambah bahagia ketika Suamiku_Suroso_memberi kebebsan kepadaku untuk berbuat apasaja.”yang penting untuk rakyat” ucapnya setelah aku menjelaskan tentang keinginanku setelah kami resmi menikah.

Ia mendukung keinginanku. Tapi, harapannya untuk mengembangkan karirku tak pernah ia halangi. Dan kini aku hidup bersamanya dan mendapatkan seorang bayi mungil perempuan. Yang kuberi nama Kartini. Aku berharap perempuanku bisa mandiri tanpa harus dan pandai. Bukankah kodrat perempuan hanya sebatas haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sedang kelembutan dan tingkah laku hanya di bentujk dimana kita berada. Semoga esok perempuanku akan tetap ada untuk perjaungannya yang tak padam. Karena matahari selalu ada untuk kehangatan dan menerangi aku,kau, kita dan mereka.
_karenaperempuanpunyaherstory_

No comments: